Jumat, 29 Juli 2011

Jujur Membawa Berkah


“Jujur bakale mujur” alias jujur akan beruntung. Demikian kata pepatah. Namun, kadang pepatah diplesetkan menjadi “jujur bakale ajur” yang artinya jujur akan hancur. Tapi benarkah demikian? Untuk membuktikannya, mari kita simak kisah salah seorang sahabat, yaitu Ka’ab bin Malik radhiyallahu ‘anhu dalam sebuah hadits berikut ini.
Dari Abdullah bin Ka`ab bin Malik ra. ( beliau adalah seorang panglima perang), dari anaknya, ia berkata : “Saya mendengar Ka`ab bin Malik bercerita tentang tertinggalnya (tidak bersama) Rasulullah SAW Dalam perang Tabuk, Ka`ab bin Malik berkata : “ Saya selalu bersama Rasulullah SAW dalam setiap peperangan, kecuali dalam perang Tabuk. Memang saya juga tidak bersama beliau dalam perang Badar, tetapi tak seorang pun dicela, karena tidak ikut perang tersebut. Sebab waktu itu Rasulullah SAW bersama kaum muslimin keluar bertujuan menghadang rombongan Quraisy, lalu tanpa terduga Allah mempertemukan mereka dengan musuh.
Sungguh aku mengikuti pertemuan bersama Rasulullah SAW pada malam hari di dekat Jumrah Aqabah, ketika kami berjanji memeluk Agama Islam. Saya tidak merasa lebih senang seandainya saya bisa mengikuti perang Badar, tetapi tidak mengikuti ba`iat di Jumrah Aqabah, meskipun perang Badar lebih banyak disebut-sebut keutamaanya di kalangan manusia daripada Ba`iat Jumrah Aqabah. Adapun cerita tentang diriku tidak ikut perang Tabuk, waktu itu saya sama sekali tidak merasa lebih kuat ataupun lebih mudah (mencari perlengkapan perang), daripada ketika aku tertinggal Rasulullah SAW daripada ketika aku tertinggal dari perang Tabuk. Demi Allah sebelum perang Tabuk saya tidak dapat mengumpulkan dua kendaraan sekaligus, tetapi waktu perang Tabuk kalau mau saya bisa melakukannya.
Dikarenakan Rasulullah SAW berangkat ke Tabuk ketika hari itu sangat panas, menghadapi perjalanan jauh dan sulit, serta menghadapi musuh yang berjumlah besar, maka Rasulullah merasa perlu membekali kaum muslimin akan kesulitan-kesulitan yang mungkin dihadapi, agar kaum muslimin membuat persiapan yang cukup. Rasulullah juga menjelaskan tentang tujuan mereka.
Waktu itu, kaum muslimin yang ikut perang Tabuk bersama Rasulullah SAW cukup banyak (sekitar 30.000 orang), tetapi nama-nama mereka tidak tercatat dalam buku. Sedikit sekali di antara mereka yang absen (bersembunyi dan tidak ikut perang). Orang-orang yang absen itu mengira bahwa Rasulullah SAW tidak mengetahuinya, selama wahyu Allah Ta`ala tidak turun.
Rasulullah berangkat ke Tabuk ketika buah-buahan dan tetumbuhan kelihatan bagus. Karena itu, hatiku lebih condong ke sana (kepada buah-buahan dan tetumbuhan). Tatkala Rasulullah dan kaum muslimin hendak berangkatmempersiapkan segala sesuatunya, akupun bergegas keluar, guna mempersiapkan diri bersama mereka. Namun saya kembali tanpa menghasilkan apa-apa, padahal dalam hati aku berkata: “Saya mampu mempersiapkannya jika bersungguh-sungguh.”
Demikian itu berlangsung terus, dan saya selalu menundanya untuk mempersiapkan perlengkapan perang, sampai kesibukan kaum muslimin memuncak. Pada akhirnya, di pagi hari Rasulullah SAW beserta kaum muslimin berangkat, sementara saya belum mengadakan persiapan. Lalu saya keluar (untuk mencari perlengkapan), tetapi saya kembali dengan tangan kosong. Hingga kaum muslimin bertambah jauh dan pertempuran semakin dekat. Kemudian saya putuskan untuk menyusul kaum muslimin. Dengan perasaan menyesal ia berkata: “Andai saja saya berbuat demikian, namun takdir menentukan lain,”
Akhirnya, apabila saya keluar dan bergaul dengan masyarakat sesudah berangkatnya Rasulullah SAW hatiku resah dan saya menganggap diri ini tidak lebih sebagai seorang munafiq, atau lelaki yang diberi keringanan oleh Allah karena lemah (pada saat itu, di Madinah yang tinggal hanyalah orang-orang yang disebut munafiq dan orang-orang yang udzur karena amat lemah, seperti orang yang tidak dapat berjalan, buta, sakit, dan sebagainya).
(Menurut keterangan teman-teman) Rasulullah SAW tidak pernah menyebut-nyebut saya, hingga sampai ke Tabuk. Sesampainya di Tabuk, barulah beliau bertanya : “Apa sebenarnya yang dikerjakan oleh Ka`ab bin Malik?” Salah seorang dari Bani Salimah menjawab : “Ya Rasulullah, dia terhalang oleh selendangnya dan sedang memandang kedua pinggangnya (sedang bersenang-senang memakai pakaiannya). “Tetapi Mu`adz bin Jabal menghardiknya : “Betapa buruk perkataanmu, Demi Allah, yang kami ketahui pada Ka`ab hanyalah kebaikan.” Rasulullah SAW pun diam. Pada saat itulah melihat seorang lelaki berpakaian putih sedang berjalan di kejauhan. Rasulullah bersabda: “Mudah-mudahan itu adalah Abu Khaitsamah.” Ternyata benar, orang itu adalah Abu Khaitsamah Al-Anshariy. Dialah orang yang bersedekah segantang kurma, ketika diolik-olok oleh orang munafiq.
Ka`ab meneruskan ceritanya: ”Tatkala saya mendengar, bahwa Rasulullah berada dalam perjalanan pulang dari Tabuk, maka kesusahan pun mulai menyelimuti saya. Saya mulai mereka-reka, alasan apa yang bisa menyelamatkan saya dari Rasulullah SAW Saya juga meminta bantuan keluargaku mencari alasan dan jalan keluar yang sangat baik. Tetapi, ketika mendengar bahwa Rasulullah SAW sudah dekat, hilanglah segala macam kebohongan yang saya siapkan, hingga saya yakin tidak ada alasan yang dapat menyelamatkan dari Rasulullah SAW selamanya. Karena itu saya mengatakan yang sebenarnya.
Keesokan harinya, Rasulullah SAW tiba. Biasanya, kalau beliau datang dari bepergian, yang beliau tuju pertama kali adalah masjid. Beliau mengerjakan shalat dua raka`at lalu duduk menunggu kaum muslimin melaporkan sesuatu dan sebagainya. Maka berdatanganlah orang-orang yang tidak ikut ke Tabuk, menemui beliau. Mereka mengemukakan berbagai alasan kepada Rasulullah SAW disertai dengan sumpah. Mereka yang tidak ikut perang Tabuk ada delapan puluh orang lebih. Rasulullah SAW Menerima mereka, beliau memperkenankan memperbaharui bai`at dan memohonkan ampun bagi mereka, sedangkan batin mereka, beliau serahkan kepada Allah Ta`ala.
Tibalah giliran saya menghadap. Ketika saya mengucapkan salam beliau tersenyum sinis, kemudian bersabda : “Kemarilah” Ka`ab berjalan mendekat dan duduk di hadapan beliau. Lalu beliau mulai bertanya: “Apa yang menyebabkan engkau tidak ikut berangkat? Bukankah engkau telah membeli kendaraan?” Saya menjawab: “Ya, Rasulullah! Demi Allah, andaikan saya duduk di hadapan orang selainmu, saya yakin dapat bebas dari kemarahannya dengan menggunakan berbagai alasan yang bisa diterima. Sungguh, saya telah dikaruniai kepandaian berbicara. Namun, demi Allah aku benar-benar yakin, seumpama hari ini saya berkata bohong dan engkau menerimanya, pasti sebentar lagi Allah Ta`ala menggerakan hatimu untuk marah kepada saya. Sebaliknya, jika saya berkata benar yang membuatmu marah, maka saya dapat mengharapkan penyelesaian yang baik dari Allah. Demi Allah, aku tidak mempuyai udzur7.” Demi Allah, diriku sama sekali tidak merasa kuat dan lebih mudah daripada ketika aku tidak mengikutimu ke Perang Tabuk. Sekarang ini, saya merasa cukup segalanya”
Rasulullah SAW, bersabda : Orang ini (Ka`ab bin Malik) telah berkata benar. Berdirilah! Tunggulah keputusan Allah terhadap dirimu. Akupun berdiri. Beberapa orang dari Bani Salimah menghampiri saya. Mereka berkata kepada saya :“Demi Allah, kami tidak pernah melihatmu melakukan dosa sebelum ini. Engkau benar-benar tidak mampu mengemukakan alasan kepada Rasulullah SAW seperti yang dilakukan oleh orang-orang lain yang tidak ikut ke Tabuk. Mestinya cukuplah bagimu, jika Rasulullah SAW memintakan ampun untukmu.”
Ka`ab melanjutkan : “Demi Allah, orang-orang Bani Salimah itu terus menerus menyalahkan diriku, sehingga ingin rasanya saya kembali kepada Rasulullah SAW untuk meralat perkataanku. Tetapi kemudian aku bertanya kepada orangorang Bani Salimah itu: “Adakah orang lain yang mengalami seperti yang saya alami?” Mereka menjawab: “Ya, memang ada. Ada dua orang yang mengatakan seperti apa yang engkau katakan dan mereka mendapat jawaban sama seperti jawaban yang engkau terima.” Saya bertanya :”Siapa mereka?” Mereka menjawab:” Murarah bin Rabi`ah Al-Amiriy dan Hilal bin Umayyah Al-Waqifiy.” Dua orang lelaki shalih itu telah mengikuti perang Badar dan dapat kuikuti karena akhlaknya. Sejak saat itu, Rasulullah SAW melarang kaum muslimin berbicara dengan kami bertiga. Sejak itu pula mereka telah mengubah sikap dan menjauhi kami, sehingga bumi terasa asing bagiku, seolah-olah bumi yang saya pijak ini bukanlah bumi yang sudah kukenal.
Keadaan seperti ini berlangsung selama lima puluh hari. Dua orang temanku ( Murarah dan Hilal) menyembunyikan diri dan diam di rumahnya masing-masing, sambil tiada henti-hentinya menangis mohon ampun kepada Allah karena tidak ikut perang. Di antara kami bertiga, akulah orang yang paling muda dan paling kuat. Aku tetap keluar rumah untuk mengikuti salat jama`ah bersama kaum muslimin, juga pergi ke pasar, tetapi tak seorangpun mau diajak bicara. Saya pergi menghadap Rasulullah SAW untuk sekadar mengucapkan salam kepada beliau di tempat duduk beliau sesudah salat. Tetapi hati ini berkata: “Apakah Rasulullah SAW, akan menggerakan bibir beliau untuk menjawab salam, ataukah tidak?” Kemudian saya mengerjakan salat berdekatan dengan beliau, sesekali aku melirik beliau. Apabila menghadap ke salat, beliau memandangku, kalau menengok ke arah beliau, beliau berpaling dari saya. Hal ini terjadi berturut-turut sampai suatu hari saya berjalanjalan, lalu melompati pagar pekarangan Abu Qatadah. Dia adalah saudara sepupu dan orang yang paling kusayangi. Kuucapkan salam kepadanya, demi Allah, bukankah engkau tahu bahwa aku ini cinta kepada Allah dan Rasul-Nya?” Abu Qatadah diam saja. Sehingga kuulangi pertanyaanku, dia tetap diam, sesudah saya ulangi pertanyaan saya sekali lagi, barulah dia menjawab:”Allah dan Rasul-Nya lebih tahu!” Seketika itu mengalirlah air mata saya dan saya pun pulang.
Pada suatu hari, ketika saya sedang berjalan-jalan di kota Madinah, tiba-tiba ada seorang petani beragama Kristen dari Syam yang datang ke Madinah untuk menjual bahan makanan. Petani itu bertanya (kepada orang-orang yang berada di pasar) :” Siapakah yang dapat menunjukkanku kepada Ka`ab bin Malik?” orang-orang memberikan isyarat ke arahku. Petani itu mendatangiku dan menyerahkan sepucuk surat kepadaku, dari Raja Ghassan. Setelah saya baca ternyata isinya sebagai berikut: ”Amma ba`du. Sungguh kami mendengar bahwa temanmu (Nabi Muhammad SAW) mendiamkanmu, sedangkan Allah sendiri tidak menjadikanmu untuk tinggal di tempat hina dan tersia-sia. Karena itu datanglah ke negeri kami. Kami pasti menolongmu.” Saat membaca surat itu aku berpikir: ”Ini juga merupakan cobaan.” Kemudian saya bakar surat itu di dapur. Selang empat puluh hari, tiba-tiba seorang utusan Rasulullah SAW datang kepadaku dan berkata : “Rasulullah SAW memerintahkanmu untuk menjauhi isterimu.” Ka`ab bertanya: “Apakah saya harus menceraikannya atau bagaimana?” Utusan itu menjawab :”Tidak, tetapi hindarilah dia, jangan dekat-dekat padanya!” Rasulullah SAW juga mengirimkan utusan kepada kedua orang temanku (Murarah dan Hilal), yang maksudnya sama dengan yang kuterima. Saya berkata kepada isteriku: ”Pulanglah kepada keluargamu. Sementara menetaplah engkau di sana, sampai keputusan Allah datang. Suatu saat isteri Hilal bin Umayyah menghadap kepada Rasulullah SAW Memohon kepada beliau :”Ya Rasulullah! Suamiku, Hilal bin Umayyah, adalah seorang tua sebatangkara dan tidak mempunyai pelayan, Apakah engkau keberatan bila aku melayaninya?” Rasulullah SAW menjawab: ”Tidak, tetapi yang saya maksud jangan sampai dia dekat-dekat padamu.” Isteri Hilal pun berkata: ”Demi Allah, Hilal sudah tidak lagi mempunyai keinginan sedikitpun (gairah) terhadapku. Dan demi Allah, tak henti-hentinya dia menangis sejak engkau melarang kaum muslimin berbicara dengannya,sampai hari ini.”
Sebagian keluarga berkata kepada saya : “Hai Ka`ab! Kalau saja engkau meminta izin kepada Rasulullah SAW untuk isterimu tentu itu lebih baik, sebagaimana isteri Hilal bin Umayyah untuk melayani suaminya.” Saya menjawab: ”Saya tidak akan meminta izin kepada Rasulullah SAW Saya tidak tahu apa yang akan dikatakan Rasulullah SAW Apabila saya meminta izin beliau, sedangkan saya seorang yang masih muda.” Saya lalui kehidupan tanpa isteri itu selama sepuluh hari (menunggu keputusan Allah). Genaplah sudah bagi kami, lima puluh hari sejak ada larangan berbicara dengan kami.
Kemudian pada hari ke lima puluh, di bagian atas rumahku pada saat aku sedang duduk ketika shalat shubuh, Allah menyebut-nyebut tentang kami. Di saat itu pula hatiku sangat resah, bumi yang sedemikian luas seakan sempit bagiku. Kemudian aku mendengar suara orang yang berteriak-teriak naik ke atas Sal`i. “Hai Ka`ab bin Malik, bergembiralah !” Serta merta aku menjatuhkan diri bersujud syukur dan aku tahu bahwa saya dapat penyelesaian. Rasulullah SAW memberi tahu kepada kaum muslimin, bahwa Allah Yang Mahaagung dan Maha Tinggi telah menerima taubat kami bertiga. Kabar itu disampaikan seusai beliau mengerjakan shalat Subuh. Maka kaum muslimin berdatangan mengucapkan selamat dan ikut bergembira, juga kepada kedua orang teman (Murarah dan Hilal). Mereka ada yang datang berkuda, ada lagi penduduk Aslam yang berjalan kaku dan ada pula yang naik gunung berteriak mengucapkan selamat, sehingga suaranya lebih cepat dari larinya kuda.
Ketika saya mendengar ucapan selamat dari orang pertama dan datang kepada saya, seketika itu juga saya melepaskan pakaian dan saya kenakan kepadanya. Padahal demi Allah waktu itu saya tidak memiliki pakaian. Setelah itu, saya meminjam pakaian dan berangkat untuk menghadap Rasulullah SAW Sementara kaum muslimin menyambutku, mengucapkan selamat atas diterimanya taubatku. Mereka berkata kepada saya : “Selamat atas pengampunan Allah kepadamu.” Demikianlah, sepanjang jalan kaum muslimin memberikan selamat. Sesampainya di masjid, ternyata Rasulullah SAW Sedang duduk dikelilingi oleh para sahabat. Melihat kedatanganku, sahabat Thalhah bin Ubaidillah segera berdiri menyongsongku. Menjabat tangan saya dan memberi selamat. Demi Allah! Tak seorangpun di antara para sahabat Muhajirin yang berdiri, kecuali dia. Karena itulah Ka`ab tak bisa melupakan kebaikannya.
Ka`ab meneruskan ceritanya.:”Tatkala saya mengucapkan salam kepada Rasulullah SAW Beliau menyambut saya dengan wajah berseri-seri dan berkata:”Bergembiralah! Karena, hari ini merupakan hari paling baik bagimu, sejak kamu dilahirkan ibumu.”Aku bertanya: “Wahai Rasulullah apakah darimu sendiri ataukah dari sisi Allah?” Beliau SAW menjawab :”Dari Allah yang Mahaagung dan Maha Tinggi.” Jika merasa senang, wajah Rasulullah SAW, bersinar terang, seolah-olah merupakan potongan rembulan. Melalui wajahnya, kami mengetahui bahwa Rasulullah SAW sedang senang hatinya. Ketika saya duduk menghadap beliau, aku berkata:”Ya Rasulullah, sungguh, termasuk taubat saya (sebagai pernyataan rasa syukurku), aku hendak menyerahkan harta bendaku sebagai sedekah untuk (mendapakan ridha) Allah dan Rasul-Nya.” Rasulullah SAW, bersabda: ”Simpanlah sebagian harta bendamu (Jangan engkau serahkan seluruhnya). Itu lebih baik. ”Kemudian saya menjawab: ”Saya masih mempunyai tanah yang menjadi bagian saya hasil dari rampasan perang di Khaibar.” Lebih lanjut saya berkata:”Ya Rasulullah, sesungguhnya, Allah telah menyelamatkanku karena kejujuran. Dan saya nyatakan, bahwa termasuk taubatku (sebagai pernyataan rasa syukur kepada Allah) saya tidak akan berbicara selain yang benar, selama hidup saya.” Demi Allah, saya tidak pernah melihat seorangpun di antara kaum muslimin yang diuji Allah Ta`ala untuk berkata jujur, lebih baik dari saya semenjak berjanji kepada Rasululah SAW hingga kini, aku tidak pernah sengaja berbohong. Dan saya berharap semoga Allah menjagaku dalam sisa hidupku. Kemudian Allah menurunkan ayat surat At-taubah:
“Sesungguhnya Allah telah benar-benar menerima taubat Nabi, sahabat-sahabat Muhajirin dan Anshar yang mengikuti Nabi (berangkat ke Tabuk) dalam masa kesulitan (mencari perlengkapan perang), sesudah hati segolongan dari para sahabat tersebut hampir saja berpaling (saking berat dan payahnya), kemudian Allah menerima taubat mereka, Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang terhadap mereka. Dan juga terhadap tiga orang (Ka`ab, Hilal, dan Murarah) yang ditangguhkan (keputusan penerimaan) taubat mereka, sehingga manakala bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan merekapun telah sempit pula dirasakan oleh mereka, serta mereka tahu bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka, agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Zat Maha Penerima taubat dan Maha Penyayang. Hai orangorang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kalian berkumpul dengan orang-orang yang benar.”
Menurut Ka`ab, “demi Allah! Belum pernah Allah memberikan nikmat, sesudah Dia memberi saya petunjuk memeluk islam yang melebihi kejujuran saya kepada Rasulullah SAW. Sebab, andaikata saya berbohong kepada beliau, pastilah bencana menimpa saya (rusak agamaku), sebagaimana orang-orang munafiq yang berdusta kepada beliau. Sungguh, Allah berfirman untuk orang-orang yang mendustai Rasulullah SAW dan mengecam betapa jelek orang tersebut. Sebagaimana firman Allah dalam surat At-Taubah, ayat 95 dan 96:
”Orang-orang munafik itu akan bersumpah dengan nama Allah kepada kalian, apabila kalian kembali kepada mereka (di Madinah), agar kalian berpaling dari mereka (tidak mencela mereka). Maka berpalinglah kalian dari mereka, karena sesungguhnya mereka itu najis (hatinya) dan tempat mereka adalah Jahannam (di Akhirat), sebagai balasan atas apa yang mereka perbuat. Mereka akan bersumpah kepada kalian, supaya kalian ridha terhadap mereka. Tetapi, jika sekiranya kalian ridha terhadap mereka, maka ketahuilah sesungguhnya Allah ridha terhadap orang-orang yang fasik.”
Lebih lanjut Ka`ab berkata: ”Urusan kami bertiga ditunda dari urusan orang-orang munafiq, ketika mereka bersumpah kepada Rasulullah SAW lalu beliau menerima bai`at mereka dan meminta ampun kepada Allah. Tetapi masalah kami ditunda Rasulullah SAW Sampai Allah memutuskan menerima taubat kami. Sebagaimana firman Allah Ta`ala :”Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan taubatnya.”
Firman Allah tersebut menurut Ka`ab, bukan berarti kami bertiga ketinggalan dari perang Tabuk, tetapi mempunyai arti bahwa persoalan kami bertiga diundur dari orang munafiq yang bersumpah kepada Rasulullah SAW Dan menyampaikan bermacam-macam alasan yang kemudian diterima oleh Rasulullah SAW”
( H.R Bukhari dan Muslim)

Dari kisah di atas kita dapat mengambil pelajaran bahwa kejujuran akan membawa akhir yang baik dalam hidup meski terkadang pahit di awalnya. Semoga kita semua diberi kekuatan untuk mampu selalu jujur dalam kondisi apapun. Jujur dalam perkataan maupun perbuatan. Amiin ya Rabbal ‘Alamiin..

By Rosarina Nurul F

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More