Hidup dapat dirasakan tapi sulit didefinisikan. Dalam hidup ini, manusia dan hewan sama saja. Sama-sama makan, minum, bergerak, berkembang biak, menyayangi anak, dan berinteraksi satu sama lainnya. Bedanya, hewan melakukan semua itu dengan sekehendak hatinya, sedangkan manusia ada yang melakukan dengan sekehendaknya dan ada pula yang diatur dengan aturan Allah SWT Penciptanya. Bila manusia dalam menjalani hidupnya ini hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya semata berarti tidak ada bedanya oran tersebut dengan hewan. Demikian pula bila seseorang menjalani hidup ini seenak perutnya, bebas tanpa aturan, memperturutkan logika dan hawa nafsunya, serta melupakan aturan Allah SWT, saat itu orang tadi tidak dapat dibedakan dengan hewan. Berkaitan dengan ini Allah SWT menegaskan di dalam al-Qur’an Al-A’rof [7] ayat 179 yang artinya:
“Dan sesungguhnya kami jadikan untuk isi neraka jahanam itu kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai qulub, tapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Alllah), mereka mempunyai mata tetapi tidak dipergunakannya untuk melihat (kebenaran dan kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga tetapi tidak dipergunakan untuk mendengar (ayat-ayat Allah), mereka itu seperti binantang ternak, bahkan mereka libih sesat lagi. Mereka itu orang-orang yang lalai”
Dalam Hal ini Imam Ibnu Katsir, memaknai ayat ini tadi dengan menyatakan bahwa Allah SWT menyediakan jahanam bagi manusia yang melakukan perbuatan-perbuatan penghuni jahanam. Mereka demikian dikarenakan alat indera yang sebenarnya telah dijadikan oleh Allah SWT sebagai jalan datangnya hidayah tersebut tidak bermanfaat bagi mereka. Sebab, mereka itu buta, tuli dan bisu dari mengikuti petunjuk dari Allah SWT. Mereka yang tidak mendengarkan kebenaran (Islam), tidak mengikuti kebenaran (Islam), dan tidak mengikuti petunjuk Allah SWT lakasana hewan berjalan yang alat-alat indranya tadi tidak bermanfaat sedikitpun kecuali untuk perkara-perkara yang diperlukannya secara lahiriyah di dunia. Mereka ketika diseru untuk beriman tidak mengindahkan. Persis seperti hewan bahkan mereka lebih sesat dari binatang. Binatang diciptakan oleh Allah SWT untuk dipergunakan manusia demi kepentingannya, dan hewan memenuhinya. Sedangkan manusia diciptakan untuk beribadah kepada Allah, namun mereka malah kufur kepadanya.
Selain pemaparan dari Imam Ibnu Katsir diatas, jelaslah ayat tersebut menjelaskan bahwa siapa saja yang tidak mempergunakan qulubnya (akal dan hatinya) untuk mengkaji, memikirkan, dan menghayati Islam yang terdapat dalam nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai teks kebenaran yang diwahyukan oleh Allah SWT niscaya dia akan seperti hewan. Demikian pula orang yang tidak mempergunakan telinga dan matanya untuk mendengar, melihat dan mencari kebenaran. Sungguh hal ini benar-benar merupakan ejekan yang luar biasa. Andai saja ada orang yang mengatakan kepada kita bahwa kita seperti babi atau sapi, apa perasaan kita? Pasti Marah! Sekarang, Allah menyatakan bahwa orang yang tidak memahami, tidak tunduk dan tidak patuh kepada wahyuNya disebut hewan bahkan lebih sesat dari hewan. Padahal sebinal-binalnya hewan tidak ada yang homo atau lesbian sesama hewan! Sejahat-jahatnya hewan tidak ada yang mencincang anaknya sendiri! Astagfirullahal ‘Azhim!
Bila demikian, sungguh adanya aqal, hati, penglihatan dan pendengaran pada orang seperti tadi sama dengan tidak adanya. Seperti dalam firman Allah:
“Dan kami telah memberikan kepada mereka pendengaran, penglihatan, dan hati, tetapi pendengaran, penglihatan, dan hati mereka itu tidak berguna sedikitpun bagi mereka, karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah” (Qs. Al-Ahqaf [46]: 26).
Untuk itu tidak ada jalan lain selain mengguankan aqal dan hati untuk memahami kebenaran, mata untuk mencari dan melihat kebenaran, dan telinga senantiasa mendengar kebenaran.
Dan kebenaran itu adalah apa-apa yang datang dari Allah dan itu ada dalam Islam, seperti dalam firmannya:
“Kebenaran itu adalah dari Rabbmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu” (Qs. Al-Baqarah [2]: 147).
“Siapa saja yang menjadikan selain Islam sebagai dien (agama, sistem hidup), niscaya ditolaknya apapun darinya dan ia di akhirat termasuk orang yang rugi” (Qs. Ali-Imron [3]: 85).
Dengan kata lain, segenap potensi yang dimilikinya itu digunakan untuk memahami dan menghayati Islam untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Berkaitan dengan hal tersebut, Allah SWT menyatakan dalam firmannya:
“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia selain untuk beribadah kepadaku” (Qs. Adz Dzariat [5]: 56).
Jelas sekali, Allah SWT sebagai pencipta menusia menetapkan bahwa keberadaan manusia di dunia ini hanyalah untuk beribadah kepadaNya. Padahal ibadah itu maknanya taat kepada Allah, tunduk dan patuh kepadaNya serta terikat dengan aturan agama yang disyariatkanNya. Jadi manusia ini hidup (ada didunia ini) semata-mata tunduk dan patuh kepada aturan dan hukum-hukum Allah SWT dalam semua perkara: aqidah, ibadah mahdhah, sosial, politik, ekonomi, pendidikan dan budaya.
Melalui ibadah seperti inilah manusia akan berbeda dengan hewan bahkan melambung jauh lebih tinggi daripada derajat hewan. Hewan makan, manusia juga makan. Tetapi manusia tidak sembarangan makan. Ia makan hanya makanan yang halal dan baik, memperolehnya dengan cara yang dibolehkan Allah SWT, cara makannnya pun tidak sembarangan. Hewan melampiaskan birahi, demikian pula manusia. Namun manusia hanya melampiaskan birahi hanya kepada perempuan (apabila dia laki-laki), itupun sudah dinikahi terlebih dahulu sesuai dengan hukum Islam. Setelah pernikahanpun diurusnya istrinya tersebut, dididiknya, tujuannyapun bukan bersifat seksual melainkan untuk mendapatkan keturunan yang shalih. Hewan hidup bersama dengan sesamanya. Demikian pula hanya manusia. Bedanya, dalam kehidupannya hewan tidak diatur secara formal, yang kuat itulah yang menang dan berkuasa. Sebaliknya, manusia diatur oleh aturan-aturan Allah SWT. Kedaulatan ada ditangan syara’, sehingga yang menentukan halal haram, baik buruk, terpuji tercela, serta mana yang boleh ada ditengah masyarakat dan mana yang tidak boleh ada hanyalah Allah SWT yang diketahui lewat hukum-hukumnya dalam al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’ Sahabat dan Qiyas.
Sekarang pertanyaan yang muncul, kapan tunduk, patuh dan taat kepada aturan Allah SWT itu? Marilah kita mengingat perkataan Rosulullah Dalam sebuah hadits:
“Bertaqwalah engkau dimanapun engkau berada!” [HR. Turmudzi].
Jadi jawabannya sangat tegas, yaitu setiap saat. Sungguh sabda Rosulullah SAW itu sangat gamblang untuk dipahami. Kita juga harus mengingat bahwasannya Allah SWT itu menghisab seluruh perbuatan manusia. Allah tidak hanya akan menghisab aktivitas kita ketika dimasjid saja atau sedang di pengajian. Sebaliknya, Dia Dzat Maha Tahu akan meminta pertanggungjawaban manusia dimanapun saja dan kapan saja, baik di kamar mandi, di tengah rumah, di kendaraan, di jalan, di pasar, di kampus, di ruang pengadilan, di gedung-gedung pemerintahan, dan di semua tempat lainnya. Semua perbuatan akan diminta pertanggungjawabannya apakah sesuai dengan Islam atau tidak, apakah sesuai dengan visi dan misi hidup didunia yaitu ibadah, ataukah tidak. Allah SWT berfirman:
“Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya. (Qs. Ath-Thur [52]: 21).
“Tiap-tiap diri bertanggungjawab atas apa yang telah diperbuatnya.” (Qs. Al-Muddatstsir [74]: 38).
Bila hidup manusia sesuai dengan tugas yang diberikan Allah SWT kepada manusia maka hidupnya akan bahagia di dunia dan di akhirat. Sebaliknya, bila tidak, ia akan nestapa di dunia dan di akhirat. Untuk itu patut direnungkan firman Allah SWT berikut:
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan diantara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Qs. Al-Hadid [57]: 16).
Sungguh, ayat di atas merupakan pertanyaan retoris bagi mereka yang tetap tidak mau menundukkan dirinya kepada aturan-aturan Allah SWT. Sekarang sudah tiba waktunya! Dan Allah menyindir orang beriman “Belumkah datang waktunya…” Benar, sekarang sudah tiba waktunya. Kapan lagi ketundukan, kepatuhan, dan ketundukan kepada Allah SWT bila bukan sekarang. Besok lusa mungkin nyawa sudah tiada. Jauh-jauh sebelumnya Rasulullah SAW mengingatkan:
“Bersegerahlah kalian untuk beramal sebelum datangnya tujuh hal: apakah yang kalian nantikan kecuali kemiskinan yang dapat melupakan, kekayaan yang dapat menimbulkan kesombongan, sakit yang dapat mengendorkan, tua renta yang dapat melemahkan, mati yang dapat menyudahi segala-galanya, atau menunggu datangnya Dajjal padahal ia adalah sejelek-jelek yang ditunggu, atau menunggu datangnya hari kiamat padahal kiamat adalah sesuatu yang sangat berat dan sangat menakutkan.” [HR. At-Turmudzi].
Benar, tidak ada yang perlu ditunggu! Kini saatnya memproklamirkan: hidupku untuk ibadah! Hanya dengan langkah begini hidup menjadi punya makna. Bila tidak, apa bedanya dengan hidup hewan. Na’udzu billahi min dzalik.
by nina wijiani
0 komentar:
Posting Komentar